LUSTRUM | Bubur Ayam

Nara menghela nafas ketika ia menutup ponselnya. Ia menatap nanar pada layar hitam dihadapannya karna lagi-lagi, pembicaraan ia dan Chris makin hambar saja meskipun mereka telah seminggu tidak saling berkabar.

Sialan.

Perasaan ini datang lagi. Rasa sepi yang sejak dulu ia takuti, sejak ia dan Chris sepakat untuk tetap menjalin hubungan meski kini keduanya ada di pulau yang bersebrangan.

Perasaan itu muncul ketika kebiasaan mereka mulai perlahan berubah.

Dulu, Nara dan Chris adalah pasangan yang saling melengkapi. Mereka berdua sering sekali menghabiskan waktu bersama bahkan untuk hal remeh sekalipun. Chris sering ngajarin Nara belajar matematika, begitu juga Nara, sering bantu Chris membuat tugas kesenian.

Teman-teman Nara dan Chris di sewaktu SMA sering memanggil mereka dengan sebutan bucin, karena saking dimabuk asmaranya, mereka bahkan mulai jarang nongkrong di tongkrongan masing-masing. Nara mulai melupakan jadwal rutinnya untuk ngeband, hanya karena ia menuruti Chris yang “katanya” cemburu lihat Nara berdekatan dengan drummer band-nya padahal mereka hanya teman. Secara berurutan, Nara mulai meninggalkan segala aktivitas dan kesibukannya di sekolah; nongkrong, ngeband, kepanitiaan, OSIS. Puncaknya, ia mengorbankan kegemarannya menjadi MC karena Chris tidak suka jika ia menjadi sorotan.

Ibarat kata, dulu Chris adalah 24/7 nya Nara. Nara melakukan segalanya dan menuruti segala yang Chris inginkan. Bahkan saat gak di sekolah pun mereka sering video call, layaknya kekasih baru jadian yang hubungannya sedang hangat-hangatnya.

Namun semua telah berubah.

Awalnya, hubungan jarak jauh tidak terasa berat. Sampai pada waktu dimana Chris mulai merasa dirinya harus sedikit lebih ambisius untuk mengejar IPK sempurna, bahkan ketika Chris telah mendapatkan 3,8 di semester awal.

Mereka adalah dua pribadi yang saling bertolak belakang. Setidaknya dulu mereka saling dimabuk asmara. Namun sekarang?

•••

“Na, udah didepan.”

Sebuah pesan masuk dari Jeno membuat Nara tersadar dari lamunannya.

Nara bergegas jalan ke arah cermin, merapikan rambutnya sedikit, lalu tersenyum.

Wait, can he call this...his first date with Jean? No, no. Ini cuma acara makan bubur ayam, kan?

Nara tertawa kecil, geli dengan pikirannya sendiri. Tadi ia masih murung karena Chris, namun berkat pesan singkat dari Jean ia seolah-olah lupa semuanya.

“Ya, gue kebawah.”

•••

“Biasa sarapan disini, ya?” Nara bertanya pada laki-laki di seberangnya. Ia celingak-celinguk memperhatikan daerah tempat mereka makan bubur pagi ini. Sepanjang perantauannya, Nara belum pernah hafal dengan daerah ini. Memang tidak terlalu jauh, sih, dari tempat yang biasa ia kunjungi. Namun perjalanan menuju kesini cukup membuatnya malas karena jalan besar yang dilewati truk. Tadi saja ia dan Jean berboncengan lewat jalan tikus.

“Langganan, Na. Sepanjang daerah ini ada banyak makanan; nasi uduk, lontong sayur, krecek, gudeg, sandwich, ah banyak dah! Tapi favorit gua tetep ini, bubur ayam.” Jean menoleh kearahnya sebentar untuk tersenyum. Kemudian ia kembali memotek sate usus dengan tangannya lalu membagi potongan usus ayam tersebut pada kucing-kucing yang mengerubunginya.

Melihat itu Nara ikut melongok ke bawah, rupanya ada tiga ekor kucing yang diberi makan oleh Jean.

“Jean, are you a cat person or a dog person?” Tanya Nara penasaran.

“Aduh Na, susah milihnya. I like both of them equally..” Jean menimang-nimang sebentar, dahinya mengkerut, terlihat sekali ia berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang harusnya mudah itu. “Kalo lu, apa?”

“Gue juga suka dua-duanya, tapi lebih ke dog person, sih.” Nara nyengir dan menjawab dengan lantang. Cengiran itu menular hingga laki-laki diseberangnya ikut nyengir pula.

“Really? Kirain lu-”

Omongan Jean terputus oleh datangnya bubur ayam mereka. Satu bubur ayam komplit dan satunya lagi bubur ayam tanpa kacang. Nara yang sudah selesai mengelap dua pasang peralatan makan segera memberikan sepasang pada Jean.

“Suka kuning telur gak?” Nara bertanya dengan tampang melasnya. Ia paling tidak bisa makan kuning telur kalau bentukannya rebus begini. Seret, kurang suka.

“Suka kok, lu lebih suka putih telurnya ya?” Jean menatap kearah Nara.

Nara mengangguk, maka dengan sigap tangan Jean memisahkan putih telur dari kuningnya. Melihat itu, Nara ikut memisahkan kuning telur miliknya lalu dengan sekejap ia menaruh kuning telur tersebut ke mangkuk Jean, begitu juga Jean yang menaruh putih telur miliknya ke mangkuk Nara.

“Thankyou ya, Jean.” “Tadi lo mau ngomong apa? Kirain apa?”

Entah kenapa Jean senyam-senyum sendiri, memberanikan dirinya untuk berkata, “Kirain, my person.”