LUSTRUM | Permen Susu

Nara agak kesel dengan dirinya sendiri yang tidak memperhatikan instruksi dosen tempo hari. Bisa-bisanya dia dateng cepat di hari-hari begini. Untung kampus gak terlalu ramai. Jadi dia bisa nongkrong di kantin sembari nunggu Rei dateng.

Nara kurang suka ada di kampus lama-lama kalau dia pakai setelan presentasi. Kalau gak diliatin orang-orang, ya digodain. Seolah-olah mereka gak pernah lihat orang pakai formal attire. Pengen Nara colok aja tuh matanya satu-satu.

Nara nyeruput americano (ala-ala kantin) dengan pelan. Oke, dia main game aja daripada gabut.

Sampai sebuah tepukan di pundaknya bikin jantungnya mau mencolot,

“Oi!”

Nara kenal nih suaranya.

Dia mendongak, matanya disambut oleh mata Jean yang sedang membentuk bulan sabit. Jean mode senyum.

“Sendirian aja?” Laki-laki itu berbasa-basi.

Jean mengambil bangku dihadapan Nara, duduk disitu tanpa dosa. Nara memperhatikan penampilan Jean yang hari itu “anak kampus banget”; Kaus hitam, celana denim hitam, jaket jeans biru terang yang agak belel, sepatu kets, tas jansport hitam yang 100% Nara yakin isinya adalah laptop.

Meski penampilannya standar, aroma tubuh Jean luar biasa maskulin. Cocok sama perawakan cowok berambut coklat itu.

“Iya, lagi nunggu Rei. Gue kecepetan sejam.”

“Hahaha, kok bisa sih? Mau presentasi ya?”

Tawa Jeno bikin Nara otomatis ikut ketawa.

“Iya, gue pikir jamnya maju kayak biasanya. Ternyata enggak.”

Jean manggut-manggut, “Pantes rapih. Kirain mah tadi mau dateng ke Panasonic Award.”

Kalau orang lain yang bilang, Nara pasti agak sebel. Tapi entah kenapa denger Jean ngejayus gini Nara malah pengen ketawa. Ya bener juga, sih, kekampus pakai jas dan pantofel bikin dia keliatan kayak mau dateng acara award.

“Kebiasaan banget ngaconya.”

Jean melirik kearah Nara, bocah itu lanjut main game lagi. Kemudian matanya turun ke arah maket proyek Nara, melihat-lihat sampai dia sadar kalau ada sekotak rokok merk Esse diatas meja.

“Na, ngudud?”

Nara yang sudah selesai dengan gamenya meletakkan ponsel keatas meja.

Diingatkan dengan rokok, ia mengambil kotak rokoknya. Berniat mengambil sebatang.

“Iya Jean, ngapa? mau?”

Sembarangan. Jean terkikik sedikit, masa Jean ditawarin Ice Burst? Menthol pula.

Alih-alih menerima, Jeno mengambil sesuatu dari tasnya; dua batang permen loli milkita. Strawberry dan melon.

“Ganti ini aja nih, mau gak? Sok pilih satu.”

Nara mengerutkan alisnya heran, lalu dia memilih rasa melon.

“Lo gak ngerokok?”

Nara menopang dagu, matanya persis menatap ke arah kedua mata Jean.

“Sekali dua kali doang, kalo lagi kesel sama Kasa.”

Lagi, Nara tertawa karna alasan yang cukup tak masuk akal tersebut.

Kemudian keduanya sama-sama diam. Sejujurnya Nara bingung harus bicara apa. Ini pertamakalinya ia berinteraksi dengan Jean secara langsung setelah hanya chattingan beberapa hari. Mereka tidak pernah bertemu di kampus.

Hingga lamunan Nara diputus dengan dehaman dari Jean.

“Mama meninggal beberapa hari setelah adik gue lahir. Jantungnya lemah, paru-parunya kotor karna beliau perokok pasif.” Jean menghela nafas, lalu melanjutkan, “Papa itu perokok yang sangat aktif. Sehari abis berbungkus-bungkus. Tapi nyokap gue maklum karna bokap gue adalah seniman, beliau gabisa berimajinasi tanpa hisap rokok. Padahal saat itu nyokap hamil tua.”

Terkejut dengan cerita Jean yang tiba-tiba, Nara menatap kedua mata Jean yang telah menatapnya.

“Sejak tahu alasan kenapa nyokap gua meninggal, gua benci rokok. Tapi beranjak dewasa, gua sadar kalau beberapa orang emang butuh rokok di waktu tertentu. Termasuk gua sendiri. Oleh karena itu sebutuh-butuhnya ngerokok, gua harus tahan untuk gak ngehisap terlalu banyak. Karna kalau kemauannya diturutin, gua bakalan candu.”

“Ditambah, efek nyokap yang jadi perokok pasif saat hamil tua berimbas ke adek gua. Paru-parunya lemah, dia gak bisa hisap rokok barang sedikit.”

“Dan gua gak mau ngelukai orang-orang disekitar gua yang gua sayang.”

Tutup Jean dengan senyum. Saat itu ia keliatan rapuh. Sangat rapuh sampai Nara sangat ingin menggenggam tangan laki-laki di hadapannya itu. Tapi ia tak cukup berani melakukannya jadi ia hanya menepuk-nepuk punggung tangan Jean di atas meja.

“Sorry, Jean.”

Melihat mata Nara berkaca-kaca membuat Jean tak tahan. Ia memberanikan diri untuk mengusap surai biru milik si manis.

“I'm fine, Na. Asal Nana janji jangan ngerokok terlalu banyak? Maaf kalo kesannya gua ngatur. But i won't let something bad happened to you.”

Nara menimbang sebentar, lalu mengangguk, “Sure.”

“Ganti ini aja?”

Jean mengacungkan permen loli strawberry miliknya. Secara tidak langsung mengajak Nara untuk makan permen bersamanya.

Well, sesungguhnya Nara tidak terlalu suka makanan manis. Terlebih jika itu berbahan dasar susu. Tapi ngeliat Jean bersemangat ngajak makan permen bareng dengan wajah seperti itu, Nara gak bisa nolak.

“Boleh,” Ujar Nara akhirnya, sambil tersenyum lalu membuka pembungkus permennya.

•••

“Nah kan, tuh apa gua bilang? Udah cukup bucin anaknya sampe mau ikutan diajak makan permen.” Ujar Rei setengah berbisik, berbicara pada Hansel melalui panggilan video.