LUSTRUM | Worth the risk

“Udah sampe.”

Nara melihat ke sekeliling. Kampus pukul 9 malam ternyata sepi sekali. Yaiyalah ya, kalau rame malah aneh?

“Kita ngapain disini?”

Tanpa aba-aba, Jean memanjat pagar pembatas balkon, melompat lalu menyuruh Nara melakukannya juga. Jean duduk di tepian. Tidak terlalu berbahaya karna tepi itu cukup lebar.

“Ini spot favorit gua buat nenangin diri kalo lagi break rapat. Banyak angin.”

“Lo sering kesini? Jam segini?”

Jeno tertawa kecil, dia lupa. “Oiya, gua lupa lu bukan budak fakultas ya. But yeah, rapat acara fakultas selalu kelar malem.”

Nara hanya menggumam Ooo sambil membuka bungkusan sate padangnya.

“Jean, gak makan?”

Melihat hanya ada satu porsi, Nara berkata demikian.

“Suapin aja satu dua tusuk.”

Kemudian Nara memutar bola matanya. Ia hampir lupa kalau Jean ini punya seribu cara untuk melakukan aksi modusnya.

Woof! Woof!

Suara gonggongan anjing kecil yang nyaring mengagetkan Nara yang mulai menyuap satu tusuk satenya.

Wait, anak anjing?

“Lohhhh, cimol? gak di pos satpam? Aku gak bawa makanan kamu hari ini.”

Mendengar Jean berbicara pada anjing mungil itu, Nara menoleh kearahnya. Belum sempat ia bicara, anjing itu melompat dan datang ke pangkuan Jean, minta diuyel.

“Bocil siapa nih?”

“Satu taun lalu si cimol sering banget dateng ke pos satpam. Kayanya dia nyasar, tapi gak pakai peneng. Karna badannya rada luka, kemungkinan dia disiksa orang dijalan.”

Jean menjelaskan dengan tenang, tangannya sibuk mengelus-elus anjing kecil dalam pangkuannya. Sementara Nara menatap iba hewan kecil itu.

Orang-orang tuh, kenapa pada tega banget ya?

“Terus cimol jadi anjing fakultas, pasti lu gak pernah liat dia kan? Karna tiap jam kampus dia ditaruh di kandang, dan kandang dia ada di pos satpam. Kalau malem biasanya dia dilepas, atau diajak jalan-jalan sama satpam buat patroli gedung. Anak LKF yang patungan buat kasih dia makan.”

Nara melanjutkan makannya, kemudian ia menawarkan satu tusuk pada Jean, yang disambut dengan mulut Jean yang terbuka. Melihat muka cimol yang mupeng pengen sate padang rasanya Nara pengen ketawa.

“Dia boleh makan sate padang gak? Kayanya dia kepengen?”

Mendengar nada jenaka dari Nara, sontak Jean ketawa.

“Dia mah pengen disuapin sama kakak manis juga, bukan pengen satenya.”

Tawa mereka berdua pecah diiringi Guk! dari cimol yang seolah setuju dengan kata-kata Jean.

“Kenapa namanya cimol sih?”

Serius, Nara penasaran.

“Percaya ga kalo gua yang kasih nama?”

“Percaya sih, soalnya aneh namanya.”

“Cimol satu tahun yang lalu keciiiiil banget. Lebih kecil dari ini, badannya ringkih. Terus fluffy dah pokoknya, gemes. Dan karena waktu itu gue abis jajan cimol didepan fakultas, gua namain aja dia cimol.”

Mendengar itu, Nara ketawa kecil, “Kenapa gak lo pelihara aja? bukannya lo tinggal dirumah?”

Mendengar pertanyaan itu, Jean berdeham. Dan Nara gak boong kalau dia bisa melihat raut sedih di wajah Jeno.

“Pengennya si. Tapi gua alergi bulu hewan.”

Sebuah pernyataan yang sukses membuat Nara keselek. Jean panik, cimol yang ada di pangkuannya pun ikut bangun. Dengan segera Jeno menawarkan minuman dari kantong hoodienya ke Nara.

“Kenapa?”

“Hah? Kenapa apanya Na?”

Nara memutuskan untuk menatap mata Jean dengan lekat. Yang ditatapi seperti itu tentu saja salah tingkah.

“Lo udah tau lo alergi bulu hewan, tapi lo masih mangku cimol kayak gini? Kenapa? Lo gak takut lo sakit?”

Sebuah senyum terbit di wajah Jean ketika ia mendengar nada khawatir dari suara Nara, terlebih ketika Nara mulai menelusur apakah ada tanda-tanda jika alergi Jean kumat dengan mendekatkan wajahnya, “Well, i know it's a bit risky. But he is worth it, Nana. Dia masih kecil, butuh dielus dan disayang. Dia gak punya pemilik. And all i wanna do is protect him.”

“Alergi gua mungkin bakal kambuh, tapi itu bisa disembuhin. Tapi dia gabisa lakuin apa-apa selain minta perhatian dan kasih sayang dari kita, right?”

Nara terdiam sebentar, lalu ia mengelus kepala anjing mungil yang nampak pulas tertidur di pangkuan Jean.

“You're right.”

Jean mengangkat dagu Nara dengan ujung kedua jarinya, seolah meminta kedua mata Nara untuk menatapnya.

“Kadang lu akan dihadapi oleh sebuah pilihan dan saat lu memilih, you should know if your choice is worth the risk,”

“And i think you're worth the risk, Naraya.”