warmaice

Udara senin pagi adalah satu hal yang tidak boleh kita, sebagai manusia, lewatkan setiap minggunya. Begitulah prinsip laki-laki berbadan kokoh itu hingga ia rela selalu bergegas menyusuri tepi jalan sungai Seine yang harus dilewatinya setiap hari pagi-pagi sekali. Namun prinsip itu kini hanya menjadi alasan ke dua baginya setelah ia menemukan satu sosok yang beberapa minggu terakhir menjadi pusat perhatiannya.

Dari banyaknya manusia rupawan yang berlenggak-lenggok di jalanan Paris, baru kali ini ia memantapkan netranya untuk seorang laki-laki yang terlihat sedikit lebih muda darinya. Memperhatikan bagaimana laki-laki itu duduk tenang di tepi jalanan Paris yang sibuk, entah menggambar apa pada buku catatannya.

Dan seolah semesta memihaknya, suatu hari ia menemukan laki-laki itu meninggalkan bukunya pada salah satu bangku taman. Inisial nama laki-laki itu NJM, atau setidaknya itulah yang terukir pada sampulnya.

Beberapa hari kemudian, di hari Senin pagi paling indah baginya, Laki-laki manis itu duduk di salah satu meja di cafe tempat ia biasa menghabiskan Senin pagi sebelum memulai kelas. Bagai tertiban jackpot, Nuel tersenyum layaknya si bodoh seharian saat itu juga.

Saat kembali lagi pada hari Senin selanjutnya, bagai sebuah kejadian konstan, Nuel kembali bertemu dengan laki-laki itu.

Ia melirik sebuah buku yang ia simpan dalam tasnya. Ini sudah minggu ketiganya menyimpan buku bertuan itu. Apakah saatnya?

Tepat ketika Nuel beranjak, laki-laki itu terburu berjalan keluar. Entah ada urusan mendadak apa. Nuel gagal lagi.

-

Minggu keempat, Laki-laki itu kembali ada disana.

Kali ini ia memakai setelan baju hangat, terlihat sangat manis di mata Nuel. Hari ini, ia harus melakukannya. Mengembalikan buku catatan milik sang empunya, kalau beruntung, berkenalan pula dengannya.

“Hai.” Sapaan itu terdengar lembut bagi telinganya sendiri. Oh, Nuel merah padam. “Boleh saya duduk disini?” Nuel menunjuk sebuah bangku kosong di hadapan laki-laki itu.

Mata besar laki-laki manis itu membulat, terlihat berkali lipat lebih manis jika dilihat dari dekat, rupanya.

Laki-laki itu mengangguk terputus, kemudian menyembunyikan wajahnya malu-malu.

Menggemaskan.

Setelah duduk, Nuel merogoh tas miliknya, “I just wanna.. return this book to you. Saya gak sengaja lihat kamu pegang buku ini tempo lalu, terus kamu tinggalin buku ini di kursi taman. Saya gak buka-buka isinya. Tadinya mau saya buka kalau saya gak ketemu kamu di kafe ini. But this book is really belongs to you, so it find it's way to come back to you, NJM.?”

Laki-laki itu tertawa sedikit dan demi Tuhan yang Nuel lihat saat ini sangat ingin ia abadikan kalau bisa.

“Terimakasih, ya. This book is important for me, really.”

Senyum merekah pada wajah kedua adam itu bagai mereka adalah yang paling bahagia sedunia.

Nuel. Immanuel Ishak, by the way.”

NJM stands for Nicholai James Martin, but you can call me Jamie.


Selama beberapa tahun terakhir dalam hidupnya, baru kali ini Jeno terbangun dengan perasaan hangat. Hatinya entah kenapa merasa lega. Mimpinya cukup aneh, namun ia ingat bayangan laki-laki yang tiba-tiba hadir disana; tampan dan hati kecilnya berharap ia dapat bertemu dengan laki-laki itu lagi jika diizinkan semesta.

Dari tujuh hari dalam seminggu, senin terbiasa menjadi si paling tidak disukai banyak orang, aku sendiri tidak tahu alasannya. Yang aku tahu, hari yang biasanya sibuk itu justru menjadi salah satu yang paling aku sukai. Alasannya ada pada laki-laki yang duduk selang tiga meja dariku saat ini. Ia adalah pelanggan tetap kafe yang baru-baru ini aku datangi.

Aku tidak tahu namanya, tidak pernah berani juga untuk berkenalan dengannya. Yang aku tahu, ia selalu mengambil meja di sudut ruangan. Duduk disana dengan croissant utuh yang tak kunjung ia makan dan secangkir kopi panas yang sesekali ia sesap. Laki-laki itu selalu membaca buku yang berbeda setiap hari senin; oh, kali ini bukunya nampak lebih tebal dari yang ia baca tempo lalu.

Menarik. Lelaki pemilik jemari indah itu hanya datang pada hari Senin. Aku sudah memastikannya, bahkan aku sampai bertukar informasi dengan kasir cafe ini. Itulah bagaimana aku meyakini hari Senin sebagai hari favoritku kini. Ada perasaan yang tidak biasa saat aku menunggu hari demi hari, menunggu waktu untuk bertemu lagi dengannya yang kukagumi dalam hening.

Bahkan di semesta lain dimana kamu dan aku acapkali bersinggungan, kamu masih dia yang sangat sulit aku gapai

Kali pertama Jaemin mengenal sosok yang kini menjadi idola baginya bukanlah hal yang dapat dengan bangga ia ceritakan ke mana mana. Jika penggemar lainnya bercerita tentang bagaimana mereka mengenal Jeno dan anggota lain dalam grupnya dengan cara yang bermacam-macam seperti dikenalkan oleh teman, menonton acara televisi dan sebagainya, yang terjadi pada Jaemin hanyalah kejadian sangat sederhana dan ceroboh. Namun siapa sangka satu hal bodoh yang terjadi lima tahun silam itu justru menjadi bagian dalam hidupnya yang ia syukuri hingga sekarang?

Kala itu, Na Jaemin masih berusia enam belas tahun ketika ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Jaemin adalah si sulung dari keluarga sederhana yang tinggal sedikit jauh dari pusat kota. Ayahnya meninggal tepat saat pengumuman lulus masuk Sekolah Menengah Atas akibat serangan jantung di tempat kerjanya, membubuh duka pada hati Jaemin remaja yang pulang ke rumah dengan kabar gembira karena mendapat nilai di atas rata-rata lalu dalam sejenak menjadikan hari itu hari paling buruk baginya.

Beberapa hari setelah ayah pergi, Jaemin menyadari kalau tidak bisa hanya ibu saja yang harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Jaemin, si sulung dengan dua adik yang berusia cukup jauh darinya merasa harus bertanggung jawab untuk keluarganya. Maka jadilah ia berselancar dalam dunia maya, mencari berbagai informasi mengenai bagaimana mengais penghasilan bermodalkan usia yang masih belia dan minim pengalaman. Jaemin itu memang pintar dan pekerja keras, namun sejauh ini ia hanya sering membantu ayah di kebun atau memperbaiki perabot rumah yang mulai rusak.

Memang betul kata orang kalau dunia maya bisa menawarkanmu apa saja. Jaemin menemukan beberapa lowongan pekerjaan dengan kualifikasi yang mampu ia penuhi meskipun semuanya terletak di pusat kota. Dengan telaten ia mencatat informasi tentang pekerjaan itu satu per satu, mengenai apa saja yang harus ia siapkan hingga tempat yang harus ia datangi.

Jaemin tersenyum menatap seluruh catatan yang ia punya. Saat ini yang mampu ia gantungkan adalah keberuntungannya.


...Namun kita semua tahu keberuntungan tidak akan selalu memihak setiap insan manusia.

Ini sudah hari keempat dan keberuntungan yang Jaemin harap-harap itu tidak kunjung datang. Tersisa satu tempat ia melamar yang belum memberikan jawaban. Seluruh lamaran kerja paruh waktu yang ia tawarkan ditolak mentah-mentah bagai sampah. Sisanya, ia terpaksa tidak mencoba karena mereka butuh karyawan waktu penuh sedangkan ia harus tetap sekolah dan lulus tanpa cacat sebab itulah permintaan terakhir mendiang ayah.

Laki-laki surai coklat itu melangkahkan tungkainya lesu, kepalanya menunduk kelelahan. Ia masih harus menaiki kendaraan umum selama satu jam untuk sampai ke kota ia tinggal. Ia pikir, sudah malam juga. Biarlah ia berjalan tanpa tenaga seperti ini sebelum kembali harus berpura-pura tegar saat membuka pintu rumahnya, memasang senyum layaknya sang pahlawan yang selalu kuat dan tanpa luka untuk ibu dan adik-adiknya.

Dug

“Auuuww, sakiiiiit! Ma-” Begitu memiliki kekuatan untuk mendongakkan kepalanya, pandangannya menatap lurus ke depan.

Sakit, kepalanya terasa pusing menabrak... apa ini? Kotak, terang.

Oh, panel papan iklan.

Jaemin tidak memperhatikan kalau ia pernah menemui papan iklan seperti ini. Selama ia berada di pusat kota, yang ia pikirkan hanyalah pekerjaan dan lamaran. Laki-laki itu sedikit menoleh kearah bagian depan panel iklan tersebut.

Ia pikir, akan ada tawaran mengenai suatu produk.. atau acara, mungkin? Tapi yang ada persis di hadapannya kini adalah potret seorang laki-laki, wajahnya yang tampan dipoles riasan itu nampak tanpa cela. Mata kedua laki-laki itu terlihat berbinar didukung senyum yang menghias wajahnya. Jaemin membaca tulisan yang nampak menarik perhatian pada panel iklan itu, Happy Debut Day, Lee Jeno!

Debut day? Apakah itu artinya laki-laki dalam gambar di hadapannya ini terbit menjadi artis?

Na Jaemin sejatinya bukanlah orang yang paham soal fenomena idol di tempat ia tumbuh. Meskipun hampir semua teman di kelasnya merupakan penggemar grup band (entah itu laki-laki atau perempuan, mereka semua sama), ia jarang sekali ikut memperhatikan pembahasan tentang hal itu. Mungkin sekali dua kali ia ikut mendengarkan lagu-lagu populer yang merajai tangga lagu radio lokal yang sering ia putar, namun ia tidak mengikuti perkembangan pribadi para artis itu.

Na Jaemin meremas dadanya yang tiba-tiba sedikit merasakan sesuatu yang aneh. Ada desir yang tidak bisa ia jelaskan saat ia semakin lama menatap potret laki-laki itu, yang kini ia ketahui, Lee Jeno namanya.

Aneh karena tiba-tiba ada secercah harapan tumbuh dalam hatinya saat ia menatap kedua binar hangat itu. Bibir tipisnya pula ikut tersenyum seolah-olah ia tertular kebahagiaan dalam potret kemilau di hadapannya.

Dan Na Jaemin tidak pernah merasakan yang seperti ini..

Meski larut dalam lamunannya, Na Jaemin tidak dapat mengabaikan sebuah pesan masuk pada ponselnya. Satu pesan yang hampir membuat ia ambruk saat itu juga; “Selamat, Na Jaemin! Anda diterima sebagai kasir paruh waktu di cabang toko kami. Masa training akan berlangsung selama satu minggu dimulai besok. Jangan telat datang di hari pertamamu, ya!”

Harapan. Na Jaemin kembali menoleh ke arah panel iklan itu, sekali lagi menatap potret netra laki-laki yang entah kenapa kini mulai familiar baginya. Mungkin karena binar hangat itu sempat memberinya harapan.

“Besok, kita ketemu lagi ya, Jeno!”

Kemudian secepat kilat Na Jaemin berlari menuju halte terdekat, berdoa agar cepat sampai rumah sebab ia lekas ingin memberitakan kabar sukacita ini pada keluarganya.


“Lu keliatan lebih seneng akhir-akhir ini, lagi jatuh cinta ya?” Yeonjun menyikut lengan Jaemin yang sedang pemanasan sebelum pertandingan futsal mereka.

Mendengarnya, Jaemin hanya tersenyum tipis sementara pikirannya melayang entah kemana. Yang ia tahu, ia kembali mengingat beberapa waktu lalu ketika ia berjalan terburu sepulang training hari pertama. Ia mendatangi panel iklan dengan potret Jeno yang seharusnya berada disana. Namun nihil, Jaemin tidak menemukan apa-apa karena potret laki-laki itu sudah tidak ada disana.

Instingnya bergerak untuk menggali informasi tentang Lee Jeno pada situs pencarian ; Lee Jeno, usia 16 tahun, debut sebagai Rapper utama grup musik NCT.

Detik itu juga Jaemin mencari kata kunci NCT pada laman Youtube-nya, berjalan pulang ke rumah dengan earphone tersumpal di telinga. Berkali-kali mengulang bagian Jeno yang baginya super keren dalam musik video itu dengan mata berbinar penuh kagum.

Jaemin jatuh cinta untuk kali pertama, dan biarlah perasaan sederhana itu menggebu-gebu dalam hatinya.

“Heh Nara! Serem banget daritadi ketawa ketiwi aja buka HP.” Hansel menoyor bahu Nara untuk menyadarkan laki-laki berambut biru itu.

Tapi serius, Nara serem banget. Tadinya mereka bertiga; Nara, Rei dan Hansel lagi asik gadoin naget sambil nonton Squid Game di TV. Tiba-tiba HP Nara bunyi dan setelahnya bocah itu ketawa-tawa sendiri kayak abis dapet kabar kalo doi menang lotre bernilai ratusan juta rupiah.

“Ini dah, Jean lucu. Emang begini ya orangnya?”

Hansel dan Rei otomatis saling lirik.

Tuhkan, Jean lagi!

“Gini gimane maksud lu?” Kali ini Hansel yang bertanya.

“Yaaa, unik. Gatau deh, lucu aja.”

Oke, mungkin Nara tidak menyadari intonasi suaranya yang berubah jadi lebih menggebu-gebu. Intinya- sukses membuat Hansel dan Rei diem-diem high five didalem selimut.

“Unik gimana si? Tengil iya. Lagian kan lu udah berhari-hari tuh chat sama dia.. Masa masih heran aja kalo bocahnya begitu.” Hansel lanjut mencomot satu potong naget ayam di hadapannya.

“Ya.. gimana ye Hans? Tiap hari ada aja hal baru tentang doi yang gue kenali. Dan kayanya tuh gak habis-habis. Asik banget anaknya.”

“Saban hari bukannya lu jalan pagi bareng dia? Makan bubur ayam kan?” Rei gantian bertanya.

“Iya! Lu mau tau gak dia ngapain?”

“Apaan?”

“Kan.. biasa lah ya, kalo baru pertama kali makan bubur sama orang pasti ada perdebatan tentang bubur diaduk ato gak diaduk. Lu mau tau dia jawab apaan?”

“Apa tuh?”

“Dia jawab, 'kalo gua sih milih makan bubur disuapin Naraya. na, suapin dong?'. Aneh banget. Mana dicengin sama abang buburnya..” Nginget itu, Nara geli sendiri. Dia terkikik.

“Gak sampe situ doang, dia motongin sate usus buat kucing-kucing jalanan ampe pada rame banget ngerubung di bawahnya. Karena cuma ada kita berdua nih, jadinya diijinin sama abangnya. Beneran dateng mulu kucingnya.” Lagi, Nara meringis. Sebenernya itu simple dan manusiawi, tapi entah kenapa dia sangat terkesan.

“Lu keliatan seneng banget sama dia.” Rei berbicara, diikuti anggukan dari Hansel.

“Siapa yang ngga sih, brads?”

Gerakan tangan Nara yang hendak mencomot naget terhenti ketika Hansel berkata, “Kalo sama Chris. Lu masih ngerasa seneng, Ra?”

Tiba-tiba suasana mendadak hening.

“Gua gatau..” “Sebelum lu pada nanya kenapa gua gak putus aja sama Chris, gua mau jawab. Lu semua tau cerita gimana gua bisa sama dia. Dan hubungan kita itu udah lama-”

Perkataannya terputus ketika Rei menjawab, “Kita tau Ra, hubungan lu berdua gak sebentar. Tapi apa lu sadar kalo makin hari hubungan itu makin gak sehat? Gua dan Hansel tau, lu yang jalanin semuanya.. so it's in your hands. Tapi kita sebagai sobat lu cuma mau ingetin.. Buat apa lu pertahanin sebuah hubungan yang udah gaada kualitasnya? Buat apa lu pertahanin seseorang yang bahkan udah gak lu kenal lagi orangnya seperti apa? Terus, kalo udah gini apa lu gak mikirin Jean? Seenggaknya lu kasih tau dia lah, don't you think it's unfair for him to not know about this on the first place?”

“I'm gonna take some break.” Nara buru-buru pergi ke balkon kamar Rei, kemudian merogoh kantung jeansnya untuk mengambil sekotak rokok lengkap dengan koreknya. Dengan segera ia menyelipkan batangan tembakau itu lalu menyulut ujungnya. Kepulan kepulan asap rokok yang ia hembuskan memenuhi pandangannya.

Kalau sedang merokok begini, ia jadi ingat Jean dan permen lolinya. Ia sudah perlahan berhenti merokok dan menggantikannya dengan permen permen itu meskipun sejujurnya ia tidak terlalu suka olahan makanan berbahan dasar susu. Tapi ini Jean, laki-laki itu yang memintanya.

Sepertinya apa perkataan orang tentang dirinya itu betul. Naraya kalau sudah jatuh cinta, mau melakukan apa saja untuk orang itu. Nara meringis miris. Ia bahkan rela menukar sobatnya sejak SMA (dibaca: ice burst menthol) dengan permen loli yang tidak terlalu ia sukai demi menuruti permintaan Jean.

Tunggu, jatuh cinta?

Segalanya berkecamuk dalam benaknya. Seolah ia ditarik dengan realita. Nara gak bisa pungkiri kalau kalimat-kalimat Rei tadi terasa menohok di hatinya. Makanya ia merasa ia butuh waktu sendirian di balkon ini. Nara menyadari kalau hubungan yang telah lima tahun lamanya ia dan Chris jalani entah kenapa kini terasa salah. Sangat salah bahkan ia tidak tahu apakah hubungan itu dapat diselamatkan atau seharusnya direlakan.

“Nar..” Seseorang menepuk bahu Nara pelan. Menyadarkan laki-laki rambut biru itu dari lamunannya.

“Gua minta maaf.. harusnya gua gak banyak bicara dan ikut campur.” Rei ikut bersender dengannya. Bocah itu juga mengeluarkan kotak sigaretnya, itu hadiah dari Nara dan Hansel. Nara belum menjawab, hanya peraduan desis tarikan rokok mereka yang mengisi kosongnya suasana itu.

“Gue gak marah. Gue ngerasa tertohok sama kalimat lo, Rei. Gue sadar betul itu terjadi sama gue tapi setelah lo bilang itu lagi, gue ngerasa kayak 'oh, orang lain juga mikir gini.. so that's true, all of it' dan jujur.. that's a lot to take in.” Nara mengetap rokoknya pada sealing balkon.

“Kalo lo tanya kenapa gue gak lepas aja? kenapa gue masih pertahanin? Jawabannya adalah karena gue takut. Gue takut ngerasa kosong, Rei. Meskipun katakanlah, ada Jean, dia orang baru. Gak semudah itu juga buat gue..”

“Seburuk-buruknya Chris, gue sayang ama dia. Banyak hal yang gue lewati berdua, yang kita perjuangin. Despite all those bad memories about him, gue juga menyimpan baik-baik kenangan dimana gue pernah ngerasa bahagia sama dia. Itu alasan kenapa gue masih kasih dia kesempatan kemaren-kemaren. Karena gue juga berharap dia ngerasain hal yang sama kayak gue, Rei. Karena gak semudah itu ngelepas orang yang udah lama ada di hati lo.”

“But you're right.. gue udah gak kenal lagi Chris orangnya kayak gimana sekarang. Tiga tahun kita LDR dengan situasi kayak gitu, wow, lama juga.. gila men, gue keren banget ya.” Titik air mata jatuh pada pipi Nara yang kini menatap pohon dengan nanar. Ia tidak berani menatap Rei.

“Dan lo juga bener, Rei. It is unfair for Jean kalau dia gak tau soal ini.. tapi gue bingung. Gue.. gak mau kehilangan Jean kalo dia tau. Anjing, egois banget ni orang.” Nara menepuk dadanya sendiri kasar.

“Tangan lu, anjing. Gak usah macem-macem.” Rei buru-buru mematikan rokoknya lalu meraih tangan Nara, menguncinya pada genggamannya.

“Gua tanya sama lu, Nar. Lu serius sama Jean dan lu bener-bener mau ngelepas Chris?” Rei bertanya dengan nada pelan. Terdengar sangat hati-hati tapi masih bisa jelas diterima oleh telinga Nara.

“Iya, tapi gue rasa gue butuh waktu..”

“Sumpah, Nar. Mending lu ngomong aja deh sama Jean.. maksudnya, biar dia juga bisa bantu lebih getol lagi rebut hati lu gitu. Biar lu bisa lebih lapang buat ngelepas yang satu lagi.”

Nara terdiam.

“Tapi gue mikir deh Rei, kayak gini ini.. namanya gue selingkuh dari Chris gak sih?”

Rei terlihat berpikir sejenak.

“Nar, are you both okay? Lu sama Chris, ada di dalam hubungan yang baik gak sekarang?”

“Enggak.”

“Gua.. gak mau menormalisasi sesuatu yang salah, enggak. Tapi dia aja gak ada usahanya, Nar. Ini pertama kalinya gua liat lu nyala lagi dan itu alasan kenapa gua dukung lu sama Jean meskipun kalian terhitung baru kenal bentar. Emang baiknya lu kelarin dulu yang lama, baru lu maju buat perjuangin yang baru, sih. Tapi gua paham lu butuh waktu dulu. Dan udah cukup lu jadi yang iya-iya aja, nurut aja, dianya keenakan lah. Hubungan itu dua arah, kalo lu yang ngalah mulu lu seakan-akan cuma ada lu doang di hubungan itu, lu pacarin aja diri lu sendiri. Lu juga berhak bahagia kayak yang pantes lu dapetin, Nara.”

Nara tidak menjawab namun menelan kalimat itu lamat-lamat. Mungkin Rei ada benarnya? Ah sudahlah, benar atau salah.. boleh kan ia pikir nanti saja?

“Naraya, gua mau lu menyadari kalau lu itu berharga.”

Baru saja Nara mau memeluk Rei, Hansel membuka pintu balkon dengan heboh, “Woy, lu berdua! Kok gua kagak diajak pesta tembakau si?”

Nara membetulkan posisinya diatas kasur. Sumpah, dia nervous dan mual. Jari-jarinya bergantian mengetuk layar ponsel, tanda ia menunggu telepon dari sang kekasih di seberang pulau sana.

Terakhir kali ia berbicara via telepon dengan Chris itu sudah beberapa bulan yang lalu. Itupun karna Chris minta tolong bantuannya untuk merapikan makalah, jadi yang dilakukannya hanya fokus pada layar laptop.

Hubungan jarak jauh mereka sedikit tidak seperti hubungan jarak jauh orang lain. Mungkin yang lain bisa saling memberi kabar via telepon sehari sekali, namun Chris dan Nara tidak seperti itu. Boro-boro telepon, chat aja cuma empat sampai lima kali sehari.

Namun Nara, ia merasa tidak apa-apa dengan pikiran super positif; kalau Chris sibuk disana. (Meski lama-lama muak juga.)

Betul, Naraya positif bucin goblog, kalau kata Rei.

Tidak lama kemudian, ponsel dengan kamera boba itu berdering, riuh suara band asal Australia, 5 Seconds of Summer yang jadi nada dering Nara memenuhi ruangan kamarnya.

Chris menelponnya!

Tanpa ba bi bu dan tanpa niat jaim sedikit, Nara dengan semangat 45 menjawab telepon kekasihnya.

“H-hai!”

Cengiran khas terukir pada bibir Nara.

“Javier.”

Suara Chris tidak pernah berubah. Laki-laki itu.. selalu punya suara yang seolah menyihirnya. Hanya Chris yang memanggilnya Javier.

“Yup! It's me. The one and only.”

Tawa mengalun di ujung sana dan yang Nara bayangkan adalah senyum Chris.

Nara ikut tersenyum.

“Lagi apa, babe?”

Rasanya telah lama ia tidak mendengar Chris memanggilnya 'babe'.

“Istirahat. Abis rapat dadakan tapi online.” “Kamu?”

Terdengar suara bisik-bisik yang tidak jelas berbunyi apa di ujung sana. Namun Nara bisa jelas mendengar Chris seolah berbisik 'bentar, aku lagi telfon'.

“Aku di kantin nih..”

“Sama temen-temen?”

“Iya, lumayan rame. Sorry kalo berisik.”

Oh, mungkin Chris tadi ngomong sama temennya.

Ada jeda karena Nara tiba-tiba bingung ingin berkata apa. Jeda itu canggung. Seolah mereka baru pacaran sehari dua hari lalu bertingkah kikuk pada sambungan di telepon.

“Javier?”

“Ah.. sorry. Masa aku ngelamun tiba-tiba.” “Aku kangen, Chris.”

Terdengar tawa disana.

“It's okay babe. And me too. Tadi kamu mau cerita apa?”

Nara ingat sesuatu. Dia belum cerita pada Chris kalau dia ditunjuk menjadi MC pembukaan acara Lustrum.

“Chris..”

“Hm? go on.”

“Aku.. mendadak disuruh jadi MC di opening Lustrum empat hari lagi. Jadi tuh, MC lamanya jatuh di toilet terus dia berhalang-”

“Kamu jadi MC?”

Shit, this tone. Nara tau, jika tone suara Chris sedikit meninggi maka artinya laki-laki itu tidak suka. Padahal ia belum selesai bicara.

“I-iya..”

“Harus banget kamu? Kamu kan juga udah pegang posisi bendahara?”

“Iya, tapi anak-anak pada minta aku jadi MC. Mungkin mereka tau kalau aku emang suka nge-MC..?”

“Emang gaada orang lain?”

“Kalo ada orang lain, ya bukan aku yang dipilih. Lagian aku mau kok.”

Mendengar nada sengit dari Chris, Nara ikut meninggikan suaranya.

“Yeah, of course you want it, Javier. You always want attention.”

Ini lagi, ini lagi yang dibahas kekasihnya seolah tidak ada hal lain.

“What the fuck are you talking about?”

Kepala Nara tiba-tiba pusing. Selalu seperti ini jika Nara memberitahu Chris kalau ia akan mengikuti suatu kegiatan.

“Listen, i won't call you to argue. Lo jangan bikin kepala gue tambah panas ya, Javier. You're not going to be the MC atau sekalian aja kamu gausah jadi panitia.”

Nara hanya diam.

“Case closed. Aku telfon kamu lagi nanti.”

🎇

Dulu Nara merasa bahwa sisi posesif Chris itu bentuk dari rasa sayang. Laki-laki itu gak mau kehilangan dia, laki-laki itu hanya mau ngelindungin dia. Meskipun cara Chris egois untuk menghentikan segala kesukaan Nara. Dahulu Nara bisa terima dan tanpa berat hati akan mengiyakan.

Tapi sekarang semua jadi gak masuk akal. ia terlambat menyadari kalau hubungannya kian 'toxic' dan ia terlanjur terjerat didalamnya. Yang Nara rasain sekarang cuma kesedihan diiringi berbagai pertanyaan.

Kenapa Chris gak pernah dukung kesukaannya?

Nara menghela nafas ketika ia menutup ponselnya. Ia menatap nanar pada layar hitam dihadapannya karna lagi-lagi, pembicaraan ia dan Chris makin hambar saja meskipun mereka telah seminggu tidak saling berkabar.

Sialan.

Perasaan ini datang lagi. Rasa sepi yang sejak dulu ia takuti, sejak ia dan Chris sepakat untuk tetap menjalin hubungan meski kini keduanya ada di pulau yang bersebrangan.

Perasaan itu muncul ketika kebiasaan mereka mulai perlahan berubah.

Dulu, Nara dan Chris adalah pasangan yang saling melengkapi. Mereka berdua sering sekali menghabiskan waktu bersama bahkan untuk hal remeh sekalipun. Chris sering ngajarin Nara belajar matematika, begitu juga Nara, sering bantu Chris membuat tugas kesenian.

Teman-teman Nara dan Chris di sewaktu SMA sering memanggil mereka dengan sebutan bucin, karena saking dimabuk asmaranya, mereka bahkan mulai jarang nongkrong di tongkrongan masing-masing. Nara mulai melupakan jadwal rutinnya untuk ngeband, hanya karena ia menuruti Chris yang “katanya” cemburu lihat Nara berdekatan dengan drummer band-nya padahal mereka hanya teman. Secara berurutan, Nara mulai meninggalkan segala aktivitas dan kesibukannya di sekolah; nongkrong, ngeband, kepanitiaan, OSIS. Puncaknya, ia mengorbankan kegemarannya menjadi MC karena Chris tidak suka jika ia menjadi sorotan.

Ibarat kata, dulu Chris adalah 24/7 nya Nara. Nara melakukan segalanya dan menuruti segala yang Chris inginkan. Bahkan saat gak di sekolah pun mereka sering video call, layaknya kekasih baru jadian yang hubungannya sedang hangat-hangatnya.

Namun semua telah berubah.

Awalnya, hubungan jarak jauh tidak terasa berat. Sampai pada waktu dimana Chris mulai merasa dirinya harus sedikit lebih ambisius untuk mengejar IPK sempurna, bahkan ketika Chris telah mendapatkan 3,8 di semester awal.

Mereka adalah dua pribadi yang saling bertolak belakang. Setidaknya dulu mereka saling dimabuk asmara. Namun sekarang?

•••

“Na, udah didepan.”

Sebuah pesan masuk dari Jeno membuat Nara tersadar dari lamunannya.

Nara bergegas jalan ke arah cermin, merapikan rambutnya sedikit, lalu tersenyum.

Wait, can he call this...his first date with Jean? No, no. Ini cuma acara makan bubur ayam, kan?

Nara tertawa kecil, geli dengan pikirannya sendiri. Tadi ia masih murung karena Chris, namun berkat pesan singkat dari Jean ia seolah-olah lupa semuanya.

“Ya, gue kebawah.”

•••

“Biasa sarapan disini, ya?” Nara bertanya pada laki-laki di seberangnya. Ia celingak-celinguk memperhatikan daerah tempat mereka makan bubur pagi ini. Sepanjang perantauannya, Nara belum pernah hafal dengan daerah ini. Memang tidak terlalu jauh, sih, dari tempat yang biasa ia kunjungi. Namun perjalanan menuju kesini cukup membuatnya malas karena jalan besar yang dilewati truk. Tadi saja ia dan Jean berboncengan lewat jalan tikus.

“Langganan, Na. Sepanjang daerah ini ada banyak makanan; nasi uduk, lontong sayur, krecek, gudeg, sandwich, ah banyak dah! Tapi favorit gua tetep ini, bubur ayam.” Jean menoleh kearahnya sebentar untuk tersenyum. Kemudian ia kembali memotek sate usus dengan tangannya lalu membagi potongan usus ayam tersebut pada kucing-kucing yang mengerubunginya.

Melihat itu Nara ikut melongok ke bawah, rupanya ada tiga ekor kucing yang diberi makan oleh Jean.

“Jean, are you a cat person or a dog person?” Tanya Nara penasaran.

“Aduh Na, susah milihnya. I like both of them equally..” Jean menimang-nimang sebentar, dahinya mengkerut, terlihat sekali ia berpikir keras untuk menjawab pertanyaan yang harusnya mudah itu. “Kalo lu, apa?”

“Gue juga suka dua-duanya, tapi lebih ke dog person, sih.” Nara nyengir dan menjawab dengan lantang. Cengiran itu menular hingga laki-laki diseberangnya ikut nyengir pula.

“Really? Kirain lu-”

Omongan Jean terputus oleh datangnya bubur ayam mereka. Satu bubur ayam komplit dan satunya lagi bubur ayam tanpa kacang. Nara yang sudah selesai mengelap dua pasang peralatan makan segera memberikan sepasang pada Jean.

“Suka kuning telur gak?” Nara bertanya dengan tampang melasnya. Ia paling tidak bisa makan kuning telur kalau bentukannya rebus begini. Seret, kurang suka.

“Suka kok, lu lebih suka putih telurnya ya?” Jean menatap kearah Nara.

Nara mengangguk, maka dengan sigap tangan Jean memisahkan putih telur dari kuningnya. Melihat itu, Nara ikut memisahkan kuning telur miliknya lalu dengan sekejap ia menaruh kuning telur tersebut ke mangkuk Jean, begitu juga Jean yang menaruh putih telur miliknya ke mangkuk Nara.

“Thankyou ya, Jean.” “Tadi lo mau ngomong apa? Kirain apa?”

Entah kenapa Jean senyam-senyum sendiri, memberanikan dirinya untuk berkata, “Kirain, my person.”

“Udah sampe.”

Nara melihat ke sekeliling. Kampus pukul 9 malam ternyata sepi sekali. Yaiyalah ya, kalau rame malah aneh?

“Kita ngapain disini?”

Tanpa aba-aba, Jean memanjat pagar pembatas balkon, melompat lalu menyuruh Nara melakukannya juga. Jean duduk di tepian. Tidak terlalu berbahaya karna tepi itu cukup lebar.

“Ini spot favorit gua buat nenangin diri kalo lagi break rapat. Banyak angin.”

“Lo sering kesini? Jam segini?”

Jeno tertawa kecil, dia lupa. “Oiya, gua lupa lu bukan budak fakultas ya. But yeah, rapat acara fakultas selalu kelar malem.”

Nara hanya menggumam Ooo sambil membuka bungkusan sate padangnya.

“Jean, gak makan?”

Melihat hanya ada satu porsi, Nara berkata demikian.

“Suapin aja satu dua tusuk.”

Kemudian Nara memutar bola matanya. Ia hampir lupa kalau Jean ini punya seribu cara untuk melakukan aksi modusnya.

Woof! Woof!

Suara gonggongan anjing kecil yang nyaring mengagetkan Nara yang mulai menyuap satu tusuk satenya.

Wait, anak anjing?

“Lohhhh, cimol? gak di pos satpam? Aku gak bawa makanan kamu hari ini.”

Mendengar Jean berbicara pada anjing mungil itu, Nara menoleh kearahnya. Belum sempat ia bicara, anjing itu melompat dan datang ke pangkuan Jean, minta diuyel.

“Bocil siapa nih?”

“Satu taun lalu si cimol sering banget dateng ke pos satpam. Kayanya dia nyasar, tapi gak pakai peneng. Karna badannya rada luka, kemungkinan dia disiksa orang dijalan.”

Jean menjelaskan dengan tenang, tangannya sibuk mengelus-elus anjing kecil dalam pangkuannya. Sementara Nara menatap iba hewan kecil itu.

Orang-orang tuh, kenapa pada tega banget ya?

“Terus cimol jadi anjing fakultas, pasti lu gak pernah liat dia kan? Karna tiap jam kampus dia ditaruh di kandang, dan kandang dia ada di pos satpam. Kalau malem biasanya dia dilepas, atau diajak jalan-jalan sama satpam buat patroli gedung. Anak LKF yang patungan buat kasih dia makan.”

Nara melanjutkan makannya, kemudian ia menawarkan satu tusuk pada Jean, yang disambut dengan mulut Jean yang terbuka. Melihat muka cimol yang mupeng pengen sate padang rasanya Nara pengen ketawa.

“Dia boleh makan sate padang gak? Kayanya dia kepengen?”

Mendengar nada jenaka dari Nara, sontak Jean ketawa.

“Dia mah pengen disuapin sama kakak manis juga, bukan pengen satenya.”

Tawa mereka berdua pecah diiringi Guk! dari cimol yang seolah setuju dengan kata-kata Jean.

“Kenapa namanya cimol sih?”

Serius, Nara penasaran.

“Percaya ga kalo gua yang kasih nama?”

“Percaya sih, soalnya aneh namanya.”

“Cimol satu tahun yang lalu keciiiiil banget. Lebih kecil dari ini, badannya ringkih. Terus fluffy dah pokoknya, gemes. Dan karena waktu itu gue abis jajan cimol didepan fakultas, gua namain aja dia cimol.”

Mendengar itu, Nara ketawa kecil, “Kenapa gak lo pelihara aja? bukannya lo tinggal dirumah?”

Mendengar pertanyaan itu, Jean berdeham. Dan Nara gak boong kalau dia bisa melihat raut sedih di wajah Jeno.

“Pengennya si. Tapi gua alergi bulu hewan.”

Sebuah pernyataan yang sukses membuat Nara keselek. Jean panik, cimol yang ada di pangkuannya pun ikut bangun. Dengan segera Jeno menawarkan minuman dari kantong hoodienya ke Nara.

“Kenapa?”

“Hah? Kenapa apanya Na?”

Nara memutuskan untuk menatap mata Jean dengan lekat. Yang ditatapi seperti itu tentu saja salah tingkah.

“Lo udah tau lo alergi bulu hewan, tapi lo masih mangku cimol kayak gini? Kenapa? Lo gak takut lo sakit?”

Sebuah senyum terbit di wajah Jean ketika ia mendengar nada khawatir dari suara Nara, terlebih ketika Nara mulai menelusur apakah ada tanda-tanda jika alergi Jean kumat dengan mendekatkan wajahnya, “Well, i know it's a bit risky. But he is worth it, Nana. Dia masih kecil, butuh dielus dan disayang. Dia gak punya pemilik. And all i wanna do is protect him.”

“Alergi gua mungkin bakal kambuh, tapi itu bisa disembuhin. Tapi dia gabisa lakuin apa-apa selain minta perhatian dan kasih sayang dari kita, right?”

Nara terdiam sebentar, lalu ia mengelus kepala anjing mungil yang nampak pulas tertidur di pangkuan Jean.

“You're right.”

Jean mengangkat dagu Nara dengan ujung kedua jarinya, seolah meminta kedua mata Nara untuk menatapnya.

“Kadang lu akan dihadapi oleh sebuah pilihan dan saat lu memilih, you should know if your choice is worth the risk,”

“And i think you're worth the risk, Naraya.”

Waktu menunjukkan pukul 9 malam, David memutuskan untuk memulangkan anggota panitia dan meminta tiap koordinator divisi untuk tinggal. Kini, mereka berbincang mengenai kulikan acara yang tadi sudah dirundingkan per-Divisi. Istilahnya rapat tim inti, gitu.

Tentu saja rapat yang ini berjalan dengan lebih santai, sengaja agar tidak terlalu jenuh karna hari sudah malam. Ada yang sambil ngudud, makan, bahkan si Hansel aja masih sempet-sempetnya ijin sambil main ml.

“Jadi fix bakalan dibagi jadi 7 hari berturut-turut nih ya?” Ujar David, doi menyeruput kerang dara yang tadi sempat ia beli diluar gedung fakultas.

“Yoi ko, dekan mintanya acara sepekan. Dah kaya emang ni fakultas.” Sahut Hansel, masih dengan mata yang menempel pada layar ponselnya. Keren juga, rapat sambil push rank.

“Kek gini bisa-bisanya ye dia ngeburu-buruin. Alamat bakal lembur terus inimah persiapannya.” Johnny gak mau kalah berkomentar.

“Ya mau gimana si Jo, dahlah. Masih mending kita gak danusan. Untung ga mikir duit.”

Dijawab gitu sama David bikin Johnny cuma manggut-manggut.

“Nara, gak makan?”

Nara yang sedang mendengarkan percakapan menoleh ke arah Rei, “Boleh?”

“Ya boleh ego, gih sana keluar cari makan. Ini kerjaan gue aja yang handle dulu.”

“Lah elu gak makan?”

“Tadi gua nitip ayam lamongan sama Kasa, tapi anaknya belom dateng. Dah sana,”

Diperbolehkan keluar, Nara pun pamit pada yang lain untuk makan diluar sebentar.

•••

Baru aja Nara mau jalan ke parkiran, ia bertemu dengan Jean dan Kasa. Ahh, enak banget, makanan Rei udah dateng.

“Oit, mau kemana?”

Jean menghalangi jalan Nara. Sementara Kasa langsung pamit ke ruang rapat.

“Beli makan. Kok lo disini? Nemenin Kasa anter makanan ya?”

Jeno tertawa kecil, “Sok tau niih. Mau anter makanan ke Amar.”

Nara cuma bisa menggumam, “Yaudah, gih sana?”

Namun Jean hanya diam ditempat. Tangan kirinya masuk kedalam saku hoodie sedangkan tangan kanannya masih memegang kresek hitam.

“Tadi udah sekalian Kasa yang bawa. Nih, makan. Gua juga bawa buat lu.”

Saat Jean menyodorkan plastik hitam tersebut, Nara dapat mengendus bau makanan yang Jean bawa. Segera matanya berkilat dan ia tersenyum lebar, “Sate padang???”

Merasa gemas, Jean reflek mengusak surai biru milik Nara.

“Semangat amat loh. Suka sate padang emangnya?”

“Iya!! Makanan paling enak sedunia tau ini tuh.”

Jean hanya tertawa kecil, tangannya meraih lengan Nara untuk mengajaknya beranjak pergi dari sana. Ia berniat membawa si surai biru ke spot favoritnya di kampus. Balkon terbuka di lantai dua.

“Kok lo tau sih gue suka sate padang?”

Mungkin Nara tidak menyadari kalau sekarang ia sedang diseret secara perlahan oleh Jean. Saking senangnya.

“Tau dong. Siapa coba yang gasuka sate padang?”

Well, Nara gak perlu tahu kan, betapa resenya Jeno kala ia ngespam chat Hansel tadi untuk bertanya apa makanan kesukaan si rambut biru itu?

“Nanti kita lembur yak, temen-temen.”

Satu kalimat dari ko David sebelum rapat sukses membuat panitia Lustrum benar-benar lembur malam ini. Rapat kedua yang tadinya hanya digunakan untuk penjabaran konsep dan tema acara serta penyerahan anggaran keperluan kasar dari tiap divisi bertambah lama karena pembabatan acara. Panitia mengejar permintaan dekan yang katanya minta acara segera dimatangkan dan dijalankan, kalo gak lekas matang, dana yang sudah diberikanlah yang terancam.

Permintaan dekan yang mendadak sore itu otomatis bikin Hansel selaku kordiv acara daritadi memijat keningnya yang terasa berat. Tentu saja semua perencanaan acara sudah matang, terlebih karna dia punya anak-anak buah korsubdiv per-acara yang sudah siap dengan penjabaran mereka. Namun tetap saja, sepertinya dia butuh obat.

Lain dengan kubu tim acara, lain pula dengan kubu tim yang lain.

Sekretariat beserta Divisi Pubdekdok (Publikasi, Dekorasi, Dokumentasi) sibuk berembuk mengenai segala ide dan cara agar mereka mendapatkan peserta yang banyak dalam waktu yang cukup singkat. Sepertinya tim Publikasi harus bekerja lebih keras untuk hal itu.

Seluruh tim sangat sibuk sesuai dengan divisinya masing-masing, tidak terkecuali Rei dan Nara yang daritadi bolak-balik membagi keuangan dan rekapitulasi berdasarkan rincian anggaran kasar yang sudah diserahkan per divisi sebelumnya.

“Nar, punya Akpertrans di elu gak?” Rei berkata tanpa menoleh ke arah sobatnya. Tangannya sibuk membolak-balik kertas.

Nara yang ngerasa tidak memegang anggaran kasar Akpertrans menoleh, “Hah? kaga. Belom kasih deh kayanya.”

“Akpertrans! Mana anggaran?” Ujar Rei tanpa ba-bi-bu galak, membuat David yang sedang membaca rincian sistem keamanan selama acara di sebelah Rei kaget.

“Eh anjing, bociiiilll! pelan-pelan kek.”

Namun Rei gak peduli, “Amar! Maneeeeee???”

“Iya sabar napa Rei? Ini Jean yang kasih.”

Melihat Jean yang turun dari tempat dimana tim Akpertrans berembuk, Rei pun diam.

Jean berjalan ke arah meja bendahara dengan angkuh (bahasa lain: sok ganteng), bahkan dia sempat-sempatnya menyisir rambutnya kebelakang begitu kedua netranya bersapu pandang dengan netra Nara.

Bukannya nyamperin Rei, bocah itu malah berdiri didepan meja Nara.

“Nih, bos. Udah lengkap-kap-kap rincian dari Akpertrans. Paling banyak ya keluarnya di bensin sama sewa perkakas.”

Jean memberikan tiga lembar kertas yang sudah dijetrek ke Nara.

Belum sempat Nara menjawab, Rei berkomentar, “Iya, bagus. Gua yang minta tapi Nara yang dikasih. Yaudah Ra, elu yang rekap bagian Akpertrans ya!”

Setelah membolak-balik kertas yang diberi Jean sebentar, Nara menjawab, “Thanks ya, Jean!”

“Bentar Na, ini buat lu. Kalau ini gausah masuk anggaran, ya. Gua yang traktir.”

Sebelum Jean berlalu, ia meninggalkan dua batang permen loli susu rasa melon di atas meja Nara.

Nara agak kesel dengan dirinya sendiri yang tidak memperhatikan instruksi dosen tempo hari. Bisa-bisanya dia dateng cepat di hari-hari begini. Untung kampus gak terlalu ramai. Jadi dia bisa nongkrong di kantin sembari nunggu Rei dateng.

Nara kurang suka ada di kampus lama-lama kalau dia pakai setelan presentasi. Kalau gak diliatin orang-orang, ya digodain. Seolah-olah mereka gak pernah lihat orang pakai formal attire. Pengen Nara colok aja tuh matanya satu-satu.

Nara nyeruput americano (ala-ala kantin) dengan pelan. Oke, dia main game aja daripada gabut.

Sampai sebuah tepukan di pundaknya bikin jantungnya mau mencolot,

“Oi!”

Nara kenal nih suaranya.

Dia mendongak, matanya disambut oleh mata Jean yang sedang membentuk bulan sabit. Jean mode senyum.

“Sendirian aja?” Laki-laki itu berbasa-basi.

Jean mengambil bangku dihadapan Nara, duduk disitu tanpa dosa. Nara memperhatikan penampilan Jean yang hari itu “anak kampus banget”; Kaus hitam, celana denim hitam, jaket jeans biru terang yang agak belel, sepatu kets, tas jansport hitam yang 100% Nara yakin isinya adalah laptop.

Meski penampilannya standar, aroma tubuh Jean luar biasa maskulin. Cocok sama perawakan cowok berambut coklat itu.

“Iya, lagi nunggu Rei. Gue kecepetan sejam.”

“Hahaha, kok bisa sih? Mau presentasi ya?”

Tawa Jeno bikin Nara otomatis ikut ketawa.

“Iya, gue pikir jamnya maju kayak biasanya. Ternyata enggak.”

Jean manggut-manggut, “Pantes rapih. Kirain mah tadi mau dateng ke Panasonic Award.”

Kalau orang lain yang bilang, Nara pasti agak sebel. Tapi entah kenapa denger Jean ngejayus gini Nara malah pengen ketawa. Ya bener juga, sih, kekampus pakai jas dan pantofel bikin dia keliatan kayak mau dateng acara award.

“Kebiasaan banget ngaconya.”

Jean melirik kearah Nara, bocah itu lanjut main game lagi. Kemudian matanya turun ke arah maket proyek Nara, melihat-lihat sampai dia sadar kalau ada sekotak rokok merk Esse diatas meja.

“Na, ngudud?”

Nara yang sudah selesai dengan gamenya meletakkan ponsel keatas meja.

Diingatkan dengan rokok, ia mengambil kotak rokoknya. Berniat mengambil sebatang.

“Iya Jean, ngapa? mau?”

Sembarangan. Jean terkikik sedikit, masa Jean ditawarin Ice Burst? Menthol pula.

Alih-alih menerima, Jeno mengambil sesuatu dari tasnya; dua batang permen loli milkita. Strawberry dan melon.

“Ganti ini aja nih, mau gak? Sok pilih satu.”

Nara mengerutkan alisnya heran, lalu dia memilih rasa melon.

“Lo gak ngerokok?”

Nara menopang dagu, matanya persis menatap ke arah kedua mata Jean.

“Sekali dua kali doang, kalo lagi kesel sama Kasa.”

Lagi, Nara tertawa karna alasan yang cukup tak masuk akal tersebut.

Kemudian keduanya sama-sama diam. Sejujurnya Nara bingung harus bicara apa. Ini pertamakalinya ia berinteraksi dengan Jean secara langsung setelah hanya chattingan beberapa hari. Mereka tidak pernah bertemu di kampus.

Hingga lamunan Nara diputus dengan dehaman dari Jean.

“Mama meninggal beberapa hari setelah adik gue lahir. Jantungnya lemah, paru-parunya kotor karna beliau perokok pasif.” Jean menghela nafas, lalu melanjutkan, “Papa itu perokok yang sangat aktif. Sehari abis berbungkus-bungkus. Tapi nyokap gue maklum karna bokap gue adalah seniman, beliau gabisa berimajinasi tanpa hisap rokok. Padahal saat itu nyokap hamil tua.”

Terkejut dengan cerita Jean yang tiba-tiba, Nara menatap kedua mata Jean yang telah menatapnya.

“Sejak tahu alasan kenapa nyokap gua meninggal, gua benci rokok. Tapi beranjak dewasa, gua sadar kalau beberapa orang emang butuh rokok di waktu tertentu. Termasuk gua sendiri. Oleh karena itu sebutuh-butuhnya ngerokok, gua harus tahan untuk gak ngehisap terlalu banyak. Karna kalau kemauannya diturutin, gua bakalan candu.”

“Ditambah, efek nyokap yang jadi perokok pasif saat hamil tua berimbas ke adek gua. Paru-parunya lemah, dia gak bisa hisap rokok barang sedikit.”

“Dan gua gak mau ngelukai orang-orang disekitar gua yang gua sayang.”

Tutup Jean dengan senyum. Saat itu ia keliatan rapuh. Sangat rapuh sampai Nara sangat ingin menggenggam tangan laki-laki di hadapannya itu. Tapi ia tak cukup berani melakukannya jadi ia hanya menepuk-nepuk punggung tangan Jean di atas meja.

“Sorry, Jean.”

Melihat mata Nara berkaca-kaca membuat Jean tak tahan. Ia memberanikan diri untuk mengusap surai biru milik si manis.

“I'm fine, Na. Asal Nana janji jangan ngerokok terlalu banyak? Maaf kalo kesannya gua ngatur. But i won't let something bad happened to you.”

Nara menimbang sebentar, lalu mengangguk, “Sure.”

“Ganti ini aja?”

Jean mengacungkan permen loli strawberry miliknya. Secara tidak langsung mengajak Nara untuk makan permen bersamanya.

Well, sesungguhnya Nara tidak terlalu suka makanan manis. Terlebih jika itu berbahan dasar susu. Tapi ngeliat Jean bersemangat ngajak makan permen bareng dengan wajah seperti itu, Nara gak bisa nolak.

“Boleh,” Ujar Nara akhirnya, sambil tersenyum lalu membuka pembungkus permennya.

•••

“Nah kan, tuh apa gua bilang? Udah cukup bucin anaknya sampe mau ikutan diajak makan permen.” Ujar Rei setengah berbisik, berbicara pada Hansel melalui panggilan video.